Jepang pada paruh kedua abad ke-20 adalah sebuah kisah sukses. Dari
sebuah negara yang terpuruk setelah Perang Dunia II menjadi salah satu
negara termakmur di dunia. Dari bangsa yang agresif menjadi bangsa yang
memberikan sumbangan positif terhadap dunia. Bersama Jerman Barat,
Jepang menjadi penyuplai utama barang-barang konsumsi global dari
1960-an hingga 1990-an. Bagaimanakah kisahnya?
Klik gambar untuk menuju sumber gambar
Latar Belakang
Quote:
Menteri
Luar Negeri Jepang, Mamoru Shigemitsu, mewakili Kaisar, mengesahkan
Instrumen Penyerahan Tanpa Syarat Jepang kepada Sekutu pada Minggu, 2
September 1945, di atas kapal USS Missouri di Teluk Tokyo.
Kaisar
Jepang, Hirohito, mengumumkan penyerahan tanpa syarat Jepang kepada
Sekutu pada 15 Agustus 1945. Penyerahan tanpa syarat sendiri disahkan
secara
de jure pada 2 September 1945 di atas Kapal USS Missouri
di Teluk Tokyo oleh Menteri Luar Negeri Jepang, Mamoru Shigemitsu. Ini
secara resmi mengakhiri Perang Dunia II.
Jepang kehilangan semua koloninya di Asia dan Kepulauan Pasifik : Korea,
Manchuria, Hong Kong, Formosa, Indo-Cina Prancis, Malaya, Borneo Utara,
Persemakmuran Filipina, Hindia Belanda, Timor Portugis, Kepulauan
Saipan, dan wilayah bekas koloni Jerman yang menjadi mandat Liga
Bangsa-Bangsa. Jepang juga kehilangan Sakhalin Selatan dan Kepulauan
Kuril (Prefektur Karafuto) yang dicaplok Uni Soviet dan Kepulauan
Okinawa yang diduduki Amerika Serikat.
Antara 2 September 1945 dan 28 April 1952, Jepang berada di bawah
pemerintahan pendudukan AS yang dikomandoi oleh Douglas McArthur. Ini
merupakan untuk kali pertama dan satu-satunya, Jepang diduduki bangsa
asing. Penjahat perang Jepang selama Perang Dunia II diadili dan dihukum
mati, seperti Jenderal Tomoyuki Yamashita, panglima pasukan Jepang di
Malaya dan Filipina dan Jenderal Hideki Tojo, Perdana Menteri Jepang
dari 17 Oktober 1941 hingga 22 Juli 1944.
Kekaisaran Jepang direorganisasi pada 3 Mei 1947 dengan mulai berlakunya
Undang-undang Dasar yang baru. Di bawah UUD ini, Kekaisaran Jepang
berubah menjadi Negara Jepang dan Kaisar hanya menjadi simbol negara dan
persatuan rakyat. Pasal 9 memastikan bahwa Jepang tak bisa menyatakan
perang maupun menerjunkan pasukan militer di luar wilayahnya, yang
berarti menjadi pasifis. UUD ini tidak pernah diamendemen sekalipun
hingga sekarang.
1950-an
Quote:
Suasana
kota Tokyo, 26 Maret 1955. Menara di kejauhan adalah menara televisi
yang akan menyiarkan siaran televisi yang akan dimulai pada 1 April
1955.
Masa depan Jepang sebagai kekuatan ekonomi
di Asia selama puluhan tahun berikutnya ditentukan di periode akhir
1940-an dan awal 1950-an. Cengkeraman Uni Soviet terhadap negara-negara
di Eropa Timur dan pemulihan ekonomi di Eropa Barat lewat Rencana
Marshall memulai era Perang Dingin antara dua negara adidaya : AS dan
Uni Soviet.
Pergerakan komunisme di berbagai negara di Asia seperti Vietnam, Cina,
dan Korea mengkhawatirkan AS. Apalagi setelah Partai Komunis Cina
pimpinan Mao Zedong berhasil memenangi Perang Saudara di Cina dan
mendirikan Republik Rakyat Cina pada 1 Oktober 1949. Jepang pun dilirik
AS sebagai sekutu yang tangguh untuk mencegah ekspansi komunisme di
Asia, termasuk Jepang sendiri. Dari sini, keajaiban ekonomi Jepang
dimulai.
25 Juni 1950. Perang Korea pecah dengan invasi Korea Utara ke Korea
Selatan. AS yang ikut dalam Pasukan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk
melindungi Korea Selatan kemudian memesan 10.000 truk berat dari
perusahaan pembuat mobil Jepang seperti Toyota, Nissan, dan Isuzu. Ini
menjadi motor penggerak awal bagi ekonomi Jepang yang baru dan menjadi
pemicu kebangkitan industri manufaktur Jepang.
Kurs mata uang Jepang, yen, terhadap dolar AS, dipatok pada level 360
yen per dolar AS sampai 1971 untuk memastikan kestabilan ekonomi Jepang
dalam masa pemulihan.
Pada 8 September 1951, Perjanjian San Fransisco disahkan dan pada 28
April 1952, perjanjian ini mulai berlaku efektif sekaligus memulihkan
kembali kedaulatan Jepang. Pada 1954, Angkatan bersenjata Jepang
dibentuk kembali, kali ini sebagai pasukan bela diri dan hanya untuk
keperluan defensif, dan pada 1956, Jepang bergabung dengan PBB.
Pada 1955, Partai Demokratik Jepang dan Partai Liberal bergabung
membentuk Partai Liberal Demokratik. Partai ini akan menjadi partai
paling dominan dalam sistem politik di Jepang dalam 63 tahun terakhir,
dengan pengecualian pada 1993 - 1994 dan 2009 - 2012.
Pemulihan ekonomi dibarengi dengan arus masuk deras pengaruh kebudayaan
Amerika ke Jepang. Produk-produk kebudayaan populer Amerika, seperti
komik, film, serial televisi, dan musik, masuk ke negeri Sakura dan
dengan cepat digandrungi masyarakat Jepang. Meskipun demikian, beberapa
produk budaya Amerika seperti
baseball sudah populer di Jepang
sebelum perang. Pada masa ini pun, embrio industri komik dan animasi
modern Jepang yang akan mendominasi industri animasi global, mulai
tumbuh meski bentuk lama dari mereka sudah ada sejak puluhan tahun
sebelumnya.
1960-an
Quote:
Kontingen
Jepang pada pembukaan Olimpiade Tokyo 1964 di Stadion Nasional Tokyo,
10 Oktober 1964. Olimpiade ini membawa dampak besar bagi Jepang. Salah
satunya adalah pembuatan kereta cepat Shinkansen sebagai bagian dari
persiapan Olimpiade. Indonesia tak mengkuti ajang ini karena telah
keluar dari IOC pada 1963 dan menyelenggarakan GANEFO sebagai Olimpiade
tandingan.
Jepang mengalami
booming
industri manufaktur pada 1960-an. Rata-rata pertumbuhan ekonomi tahunan
Jepang pada 1960-an mencapai 10%, disokong oleh pertumbuhan industri
baja yang mencapai 25% per tahun. Baja diperlukan dalam produksi kapal,
kendaraan, dan peralatan industri seperti mesin-mesin pabrik. Itulah
mengapa pertumbuhan industri baja dapat menjadi salah satu patokan
pertumbuhan industri secara keseluruhan.
Pada 1960-an, kehidupan ekonomi keluarga kelas menengah di Jepang mulai
membaik. Semakin banyak keluarga di Jepang yang memiliki televisi, mesin
cuci, lemari pendingin, dan mobil pribadi. Tiga hal pertama menjadi
lambang keluarga kelas menengah Jepang. Banyak keluarga juga yang
tinggal di blok-blok apartemen sewa
Kesuksesan Jepang menyelenggarakan Olimpiade 1964 menyiratkan kembalinya
Jepang ke pentas dunia. Pada tahun itu pula, Jepang memulai operasi
jaringan kereta cepatnya, dikenal luas sebagai
Shinkansen,
sebagai bagian dari persiapan Olimpiade. Proyek yang menghabiskan dana 1
miliar dolar AS, dua kali dari anggaran semula dan sepertiga dari
anggaran untuk Olimpiade, ini semula dianggap sebagai proyek yang
kontroversial. Banyak yang meragukan manfaat jangka panjang dan
menganggap pembangunan kereta cepat dari Tokyo ke Osaka hanya untuk
keperluan Olimpiade sangat berlebihan. Apalagi, proyek ini, dan
proyek-proyek Olimpiade lainnya, menyimpan cerita kelam seperti relokasi
paksa penduduk yang tinggal di wilayah yang akan digunakan untuk
pembangunan fasilitas Olimpiade dan dampak terhadap kondisi lingkungan
sekitar. Meskipun demikian, kehadiran Shinkansen terbukti mampu
memangkas waktu perjalanan antarkota dan menjadi salah satu lambang
Jepang modern.
Tahun 1960-an, sebagai dampak dari Perang Dingin dan Perang Vietnam,
banyak mahasiswa dan kaum muda di berbagai negara yang melakukan aksi
protes di kota-kota besar. Demikian pula dengan di Jepang. Pada 15 Juni
1960, mahasiswa Universitas Tokyo dan Waseda berdemonstrasi menolak
perjanjian bilateral antara AS dan Jepang yang mengizinkan AS membangun
pangkalan militer di Jepang untuk membantu sekutunya bila diserang. Satu
orang mahasiswi, Michiko Kanba, tewas dalam bentrokan antara mahasiswa
dan polisi.
Selama periode ini, PDB Jepang meningkat dari 44,31 miliar dolar AS
dengan pendapatan per kapita 479 dolar AS pada 1960 menjadi 172,2 miliar
dolar AS dengan pendapatan per kapita 1.669,1 dolar AS pada 1969.
Meskipun demikian, Jepang juga menghadapi masalah seperti ketergantungan
terhadap impor energi, pencemaran lingkungan, dan kepadatan penduduk.
1970-an
Quote:
Suasana
saat penduduk Tokyo menyerbu supermarket untuk membeli tisu gulung,
November 1973. Jepang menjadi salah satu negara yang mendapat embargo
suplai minyak dari OPEC sebagai dampak dari Perang Yom Kippur pada
Oktober 1973.
23 Agustus 1971, Sistem Bretoon
Woods diakhiri secara sepihak oleh Presiden Richard Nixon karena
kecemasan bahwa AS tak bisa terus menyediakan emas untuk menjamin
pertukaran antara emas dan dolar AS pada level 35 dolar AS per ons emas
dan dolar AS lebih dipilih sebagai bentuk cadangan devisa oleh
negara-negara Eropa. Mata uang Jepang, yen, dengan nilai tukar tetap
sebesar 360 yen per dolar AS, dianggap
undervalued (bernilai di
bawah nilai sebenarnya) pada 1971 dan dibiarkan mengambang bebas. Nilai
yen menguat hingga 271 yen per dolar AS pada 1973. Kemudian, mata uang
Jepang menguat dan melemah dengan berbagai faktor internal dan
eksternal, seperti kejutan harga minyak 1973. Pemerintah Jepang sejak
1973 selalu melakukan intervensi di pasar uang untuk memastikan
stabilitas yen guna menjadi agar produk Jepang tetap dapat bersaing di
pasar dunia.
Pada 1970-an, Jepang sudah masuk dalam jajaran negara industri maju. PDB
Jepang menjadi yang terbesar ketiga di dunia, di belakang AS dan Uni
Soviet. Produk-produk Jepang, terutama kendaraan dan peralatan
elektronik, ada di seluruh dunia. Pada 1971, Jepang mencatat surplus
neraca perdagangan sebesar 5,8 miliar dolar AS, jumlah yang sangat besar
pada masa itu. Namun, Jepang memiliki satu kelemahan. Jepang mengimpor
sebagian besar kebutuhan energinya, terutama minyak mentah. Gejolak
harga energi di pasar internasional akan sangat berpengaruh pada
industri di Jepang.
Pada Oktober 1973, negara-negara anggota Organisasi Negara Pengekspor
Minyak (OPEC) melakukan embargo suplai minyak mentah ke negara-negara
yang mendukung Israel dalam Perang Yom Kippur, terutama AS dan
sekutunya. Kekurangan bensin dan antreannya menjadi pemandangan yang
jamak di negara-negara Barat pada musim dingin 1973 - 74. Harga minyak
mentah naik 300% dari 4 dolar AS per barrel menjadi 12 dolar AS per
barrel selama krisis ini berlangsung.
Jepang, yang merupakan sekutu AS, juga menjadi salah satu sasaran
embargo. Pada 1970, 71% impor minyak mentah Jepang berasal dari
negara-negara Timur Tengah. Dengan pasokan minyak yang berkurang,
inflasi Jepang meningkat hingga 2 angka. Bila pada 1972, inflasi Jepang
hanya 4,6%, pada 1973, inflasi melonjak hingga 11,8%. Pada 1974, inflasi
bahkan mencapai 23,1% sebelum menurun kembali hingga 11,8% pada 1975
dan 9,5% pada 1976. Sebagai dampaknya, orang-orang panik dan membeli
barang-barang kebutuhan mereka di supermarket karena khawatir dengan
kenaikan harga dan inflasi. Jepang akhirnya melakukan pendekatan
diplomasi dengan negara-negara Arab dan meyakinkan bahwa Jepang
mendukung penyelesaian damai dalam konflik Israel - Palestina dan
mendesak Israel untuk memulihkan perbatasan tahun 1967. Akhirnya, Jepang
dianggap bersahabat dan pasokan minyak ke Jepang dipulihkan.
Dua bulan kemudian, 15 Januari 1974, saat Perdana Menteri Jepang, Kakuei
Tanaka mengunjungi Jakarta, terjadi demonstrasi anti-produk Jepang dan
dominasi Jepang terhadap perekonomian Indonesia yang memicu peristiwa
yang disebut Peristiwa Malari.
Revolusi Iran 1979 akan menimbulkan gejolak harga minyak kedua dan
memberi kejutan pula bagi Jepang berupa depresiasi yen hingga 227 yen
per dolar AS pada 1980 karena meningkatnya ongkos impor energi.
Namun, krisis harga minyak memberikan keuntungan bagi perusahaan mobil
Jepang seperti Toyota, Honda, dan Nissan. Produk mereka yang memiliki
konsumsi energi lebih efisien dibanding mobil buatan Amerika membuat
konsumen lebih memilih produk Jepang ketimbang produk Amerika.
Perusahaan mobil Jepang pun berhasil mendominasi pasar Amerika bahkan
dunia di dekade berikutnya.
Pertumbuhan ekonomi Jepang tidak pernah mencapai level yang pernah
diraih pada 1960-an lagi, rata-rata pertumbuhan ekonomi hanya 5% pada
1970-an. Namun, ini tetaplah menjadi sebuah pencapaian yang luar biasa.
Pada 1978, PDB Jepang mencapai angka 1 triliun dolar AS dengan
pendapatan per kapita 8.776,41 dolar AS.
1980-an
Quote:
Para
pedagang saham di Bursa Saham Tokyo merayakan pencapaian rekor
penutupan tertinggi indeks Nikkei di level 38.915 pada 28 Desember 1989.
Setelahnya, indeks Nikkei akan merosot drastis hingga 40% sepanjang
1990 dan menjadi awal dari Dekade yang Hilang bagi Jepang.
1980-an
menjadi puncak kejayaan perusahaan-perusahaan Jepang. Produk dari
perusahaan elektronik seperti Sony, Panasonic, Toshiba, dan Sharp
menjadi produk yang banyak digunakan di banyak negara. Yen yang lemah
menjadi katalis postif bagi ekspor Jepang. Kurs yen terhadap dolar AS
mencapai 256 yen per dolar AS pada 1985. Jepang mencapai kondisi yang
mirip dengan Cina pada masa sekarang. Pembelian Rockefeller Center oleh
perusahaan Jepang menjadi salah satu simbolnya.
Pertumbuhan penduduk yang tinggi pada tahun-tahun awal setelah Perang
Dunia II terus menurun, didorong oleh semakin beratnya beban pekerjaan
dan biaya hidup di Jepang.
Pada 22 September 1985, sebuah kesepakatan antara 5 negara ekonomi besar
(AS, Britania Raya, Prancis, Jerman Barat, dan Jepang) yaitu Plaza
Accord disahkan. Kesepakatan ini membiarkan dolar AS mengalami
depresiasi terhadap yen Jepang dan mark Jerman Barat dalam rangka
mengurangi defisit neraca perdagangan AS dengan negara-negara tersebut.
Sebagai dampaknya, yen menguat 50% terhadap dolar dalam waktu 2 tahun.
Pada 1988, 1 dolar AS bernilai 128 yen.
Pada masa 1986 - 1991, Jepang mengalami gelembung harga aset. Untuk mengurangi dampak penguatan yen, bank sentral Jepang (
Nippon Ginko /
Bank of Japan)
melancarkan kebijakan uang murah, dalam arti suku bunga acuan
diturunkan serendah mungkin agar yen tak lagi terus dibeli dan mengalami
penguatan. Akibatnya, suku bunga kredit di Jepang menjadi rendah dan
kredit bank dengan mudah didapatkan. Seketika terjadi investasi
besar-besaran di sektor properti. Nilai aset properti di Jepang melonjak
drastis. Pada satu masa, bahkan, nilai satu mil persegi aset properti
di sekitar Istana Kekaisaran Jepang melebihi nilai seluruh aset properti
di California. Indeks Nikkei, acuan bagi kinerja perusahaan terbuka di
Jepang, mencapai rekor tertinggi sepanjang sejarah, 38.915, pada 28
Desember 1989.
1980-an juga menjadi dekade terakhir dari era Showa atau masa Kaisar
Hirohito. Wafatnya Kaisar Hirohito pada 7 Januari 1989 menjadi akhir
dari masa terpanjang dalam sejarah kekaisaran Jepang tersebut. Keesokan
harinya, 8 Januari 1989, era Heisei atau masa Kaisar Akihito, dimulai.
PDB Jepang melonjak hampir 3 kali lipat dari 1,1 triliun dolar AS pada
1980 menjadi 3,05 triliun dolar AS pada 1989. Populasi Jepang selama
periode keajaiban ekonomi tumbuh 43,36% dari 85 juta menjadi 123 juta.
1990-an
Quote:
Suasana
kegiatan perdagangan saham di Bursa Saham Tokyo, Maret 1992. Hanya 3
tahun sebelumnya, bursa ini dipenuhi optimisme akan masa depan yang
cerah bagi perekonomian Jepang. Kini, semua harapan itu mulai sirna dan
masa kelam bagi perekonomian Jepang dimulai.
Keajaiban
ekonomi Jepang berakhir pada 1990-an. Pecahnya gelembung harga aset
dekade sebelumnya membuat perekonomian Jepang mengalami resesi
berkepanjangan yang dikenal sebagai "Dekade yang Hilang". Akibat harga
properti yang jatuh, banyak kredit yang telah dikucurkan untuk investasi
di sektor ini menjadi macet dan membebani bank-bank Jepang.
Ekonomi Jepang melesu. Lapangan kerja baru menyusut. Upah cenderung
stagnan dan tidak meningkat. Konsumsi domestik menurun karena orang
lebih memilih menabung uang di bank daripada membelanjakannya. Memang,
di tengah kondisi ekonomi yang tak menjanjikan, saat pendapatan tak
meningkat dan harga barang mahal, menabung menjadi pilihan menarik bagi
orang.
Pertumbuhan ekonomi yang pada 1990 masih mencapai 5,57% turun menjadi
3,32% pada 1991, 0,82% pada 1992, dan 0,17% pada 1993. Pertumbuhan
ekonomi sempat kembali meningkat pada 1994 - 1996 sebelum kembali turun
pada 1997 - 1998 sebagai dampak Krisis Finansial Asia.
PDB Jepang mencapai 3,14 triliun dolar AS pada 1990 dan menjadi ekonomi
terbesar kedua di dunia, di belakang AS. Pada 1995, sebagai dampak
apresiasi yen hingga 80 yen per dolar AS, PDB Jepang sempat mencapai
5,45 triliun dolar AS. Namun, pada tahun-tahun berikutnya, ekonomi
Jepang terkontraksi dan akhirnya PDB Jepang pada 1999 hanya mencapai
4,56 triliun dolar AS.
Jepang masih memainkan peranan penting dalam inovasi teknologi. Namun,
Jepang tak memainkan peranan baik saat internet mengalami
booming di akhir 1990-an.
Kewirausahaan di Jepang juga tidak terlalu bagus. Anak muda di Jepang
lebih memilih untuk mendapatkan pekerjaan yang bagus di perusahaan
daripada memulai usaha sendiri, ini didorong oleh budaya senioritas dan
kesetiaan pada pekerjaan.
Jepang terbantu oleh investasi dan operasi bisnisnya di negara lain.
Dengan berinvestasi dan memproduksi barang di negara Asia yang memiliki
ongkos produksi rendah seperti Cina, Vietnam, dan Indonesia, perusahaan
Jepang dapat menjaga harga produknya tetap murah. Operasi bisnisnya di
AS dan Eropa memberikan aliran kas bagi induk perusahaan di Jepang.
Popularitas produk budaya populer Jepang seperti komik, serial animasi,
dan serial televisi juga membantu mendongkrak citra Jepang di dunia
internasional.
Pada 1993, Partai Liberal Demokrat mengalami kekalahan pertama dalam
pemilihan umum sejak dibentuk tahun 1955. Ini menjadi cerminan
kekecewaan rakyat Jepang atas kondisi ekonomi yang melesu dalam 3 tahun
ke belakang.
Bank of Japan mempertahankan kebijakan suku bunga mendekati 0% selama 1990-an.
2000-an
Quote:
Sebuah
ponsel lipat produksi Sharp yang dirilis pada 2001. Ponsel lipat
menjadi model ponsel paling populer di Jepang pada 2000-an dan merek
lokal mendominasi pasar Jepang, membentuk sebuah anomali di tengah
dominasi Nokia di negara lain kala itu.
Resesi pada 1990-an masih berlanjut pada 2000-an. Namun, Jepang telah berhasil membangun
soft power
dengan kesuksesan produk industri animasinya yang diekspor ke banyak
negara seperti AS, Jerman, Australia, Cina, Malaysia, dan Indonesia.
Produk-produk Jepang juga mulai mendapat pesaing berat dari Korea
Selatan dan Cina yang dulu diremehkan. Merek seperti Samsung, LG, Chang
Hong, dan Huawei yang dulu tak dilirik mulai mengikis kedigdayaan Sony,
Panasonic, Toshiba, dan perusahaan elektronik Jepang lainnya.
Masalah sosial yang banyak dihadapi warga Jepang adalah fenomena
hikikomori
(mengurung diri di dalam kamar, menarik diri dari masyarakat),
kecenderungan bagi orang Jepang untuk tidak menikah apalagi memiliki
anak, dan perawatan orang-orang lanjut usia yang kesepian.
PDB Jepang pada 2000 mencapai 4,88 triliun dolar AS dan pada 2009
mencapai 5,23 triliun dolar AS ketika Republik Rakyat Cina menyalip
Jepang sebagai ekonomi terbesar kedua di dunia.
Pada 2008, populasi Jepang mencapai puncaknya yaitu 128 juta dan sejak
itu terus menyusut. Populasi Jepang yang dulu didominasi usia kerja
sebagai motor penggerak ekonomi, mulai didominasi orang lanjut usia
karena tingkat kelahiran yang terus menurun sehingga populasi usia kerja
menurun sementara populasi usia kerja sebelumnya memasuki masa pensiun.
Akibatnya, beban tanggungan usia produktif meningkat dan produktivitas
rakyat Jepang menurun. Pada 1990, persentase penduduk usia produktif
Jepang (15 - 64 tahun) adalah 69,5% dengan persentase penduduk di atas
usia 65 tahun adalah 12% dan di bawah 15 tahun adalah 18,3%. Maka, rasio
beban tanggungan usia produktif Jepang pada 1990 adalah 2,28 atau
kira-kira 2 orang usia produktif menanggung 1 orang usia tak produktif.
15 tahun kemudian, angka ini berubah menjadi 65,8% penduduk usia
produktif menanggung beban 13,7% penduduk usia anak-anak dan 20,1%
penduduk usia lanjut atau rasio beban ketergantungan sebesar 1,92.
Meskipun demikian, industri animasi Jepang menunjukkan perkembangan yang menggembirakan.
Sprited Away karya Hayao Miyazaki berhasil memperoleh
Academy Award untuk kategori film animasi terbaik. Jepang bersama Korea Selatan juga berhasil menyelenggarakan Piala Dunia pada tahun 2002.
2010-an
Quote:
Gelombang
tsunami menerjang kota Miyako, Prefektur Iwate, Jepang, 11 Maret 2011.
Gempa bumi 9 Skala Richter menghancurkan kota-kota besar di timur Jepang
dan menimbulkan kebocorkan reaktor nuklir di Fukushima.
Datangnya
2010-an tak memberikan banyak perubahan bagi Jepang. Perekonomian tetap
stagnan. Masalah kependudukan bertambah buruk dengan semakin menurunnya
angka kelahiran dan penurunan populasi. Deflasi yang dialami Jepang
membuat ekonomi menjadi tak mampu bergerak. Perdana Menteri Shinzo Abe
mencoba merangsang kembali perekonomian Jepang lewat program Abenomics
yang bertujuan mendongkrak inflasi Jepang ke level 2% per tahun dan
mendorong pertumbuhan ekonomi lewat kebijakan fiskal yang ekspansif.
Perusahaan-perusaahan elektronik besar Jepang terus melaporkan kerugian
dan menghentikan operasi beberapa lini bisnisnya karena kalah bersaing
dengan produk dari Korea dan Cina. Toshiba merugi 532 miliar yen atau
4,8 miliar dolar AS pada periode April - Desember 2016.
Pada 2010, rasio beban ketergantungan penduduk mencapai 1,76 dan menurun menjadi
1,51 pada 2017. Dengan jumlah penduduk usia produktif yang berkurang dan
penduduk usia lanjut meningkat, hal ini akan membahayakan kondisi
fiskal Jepang karena pendapatan dari pajak penghasilan akan berkurang
sementara belanja untuk perawatan warga lansia akan semakin meningkat.
Bencana gempa dan tsunami pada 11 Maret 2011 turut mengguncang
perekonomian Jepang dan melumpuhkan aktivitas sehari-hari di beberapa
kota besar. Bahkan, kebocoran reaktor nuklir di Fukushima menimbulkan
demonstrasi meminta agar Jepang berhenti menggunakan energi nuklir, dan
dikabulkan.
Kesimpulan
Selama 40 tahun, Jepang mengalami pertumbuhan ekonomi yang luar biasa
tinggi dan mengubah Jepang menjadi salah satu negara paling sukses di
dunia. Sebuah gelembung harga aset pada akhir 1980-an membuat
perekonomian Jepang terpuruk dalam resesi berkepanjangan.
Demikian
thread dari saya kali ini. Transformasi Jepang dari
negara miskin menjadi salah satu negara terkaya di dunia tak diraih
hanya dalam semalam. Komitmen nasional, kerja keras rakyat, dukungan
dari negara sahabat, dan kepercayaan akan produk dalam negeri menjadi
faktor yang mendukung perkembangan Jepang dalam enam dekade terakhir.
Terima kasih telah membaca
thread ini dan semoga hari Anda menyenangkan.
Sato, Masaaki. (2006).
The Honda Way. Diterjemahkan oleh : Affan Achyar. Jakarta : Penerbit Hikmah.
Smick, David M. (2009).
Kiamat Ekonomi Global : The World is Curved - Krisis 2007-2008 Barulah Awal. Diterjemahkan oleh : Arfan Achyar. Jakarta : Daras Book.